Ramadan dan Kelas di Masyarakat, Pendidikan Pesantren Sulawesi Selatan
Komentar

Ramadan dan Kelas di Masyarakat, Pendidikan Pesantren Sulawesi Selatan

Komentar

Terkini.id, Gowa – Melalui organisasi yang dibentuk berdasarkan angkatan, ataupun daerah, santri melaksanakan kegiatan Ramadan senyampang liburan. Diantara kegiatannya adalah pesantren kilat. Kadang pula disebut pesantren ramadan.

Dalam kesempatan yang lain, santri lintas pesantren mengorganisasikan diri dalam konsulat. Tidak lagi satu pesantren saja, tetapi antar institusi berkolaborasi didasarkan pada ikatan wilayah. 

Sepanjang Ramadan berkegiatan bersama. Mengatur diri dan juga menjadikan kesempatan “mengajar” untuk juga turut belajar.

Berkegiatan di SMP atau SMA, selama sekian hari. Diisi dengan kegiatan belajar bersama, sesuai dengan materi-materi kepesantrenan yang telah dipelajari.

Itu satu tipikal kegiatan dalam praktik di Pesantren IMMIM. Bahkan kemudian tidak lagi hanya dilaksanakan santri saja. Organisasi alumnipun tetap melaksanakannya sesuai dengan kewilayahan ataupun angkatan tadi.

Baca Juga

Sementara di pesantren As’adiyah, santri diutus oleh Kiai untuk berada di desa selama sebulan penuh. Mulai sebelum datangnya Ramadan, sampai Syawal. Termasuk menjadi khatib idul fitri.

Selama sebulan, ada yang menjadi imam masjid. Kemudian, ada pula yang menjadi muballigh di satu masjid setiap waktu salat tertentu.

Pengurus masjid ataupun perangkat desa sudah melayangkan surat permohonan jauh hari sebelum Ramadan. Itu datangnya, tidak saja dari Sulawesi. Juga dari Merauke, dan daerah lainnya di Papua.

Pelajar dari pesantren tidak lagi sebatas siswa sekolah menengah. Diantara mereka sudah ada yang mahasiswa seiring dengan pengembangan pesantren yang mengelola ma’had aly (pesantren di pendidikan tinggi).

Penugasan ini juga dilaksanakan pesantren DDI. Bukan lagi sebatas di Sulawesi Selatan saja, tetapi menjangkau Indonesia Timur dan bahkan Indonesia. Sebagaimana asal santri.

Mereka berfungsi dalam posisi dai, muballigh, ataupun imam masjid. 

Dalam kondisi seperti ini, mereka sejatinya tidak lagi hanya belajar di dalam kelas. Terjun langsung ke masyarakat, selain mendapatkan pengalaman untuk tampil di depan publik. Merekapun langsung belajar dan sekaligus menyadari posisinya.

Kembali ke pesantren, usai masa liburan habis. Tidak lagi kemudian belajar apa adanya atau sesuai dengan yang ada dalam kurikulum semata. Tetapi mengasah diri untuk kemudian lebih baik lagi. Tidak lagi menjadi santri biasa saja dengan ukuran kurikulum, tetapi dengan penguasaan sesuai dengan keperluan masyarakat.

Ramadan ini kesempatan menjadi pembelajar tidak hanya dalam kelas semata. Pesantren menjadikan Ramadan sebagai sarana belajar santri. Semakin mendekatkan mereka ke masyarakat yang juga sejatinya nanti akan menjadi tempat kembali.

Ismail Suardi Wekke
Pusat Studi Kepemimpinan Transformatif
Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Sorong