Terkini.id, Gowa – Pembentukan Madrasah Arabiyah Islamiyah yang pada perkembangan di zaman berikutnya dinamakan As’adiyah, menjadi cikal bakal keberadaan Pendidikan Islam di Sulawesi Selatan.
Murid-murid Gurutta As’ad yang kemudian mendirikan pesantren bahkan sampai berjumlah sembilan lembaga (Adlin Sila, 2005). Tidak saja di Sulawesi Selatan dalam penamaan administrasi provinsi Sulawesi Selatan setelah kemerdekaan Indonesia, tetapi menjangkau ke Donggala. Berikutnya bertambah menjadi sepuluh dengan kehadiran Darul Huffadz Tuju-tuju, Kajuara. AGH Lanre Said juga murid langsung AGH As’ad.
Tradisi, Transisi, dan Transformasi
Pendidikan Islam sebagai sebuah institusi mengalami masa-masa transisi tertentu untuk memastikan tradisi tetap terjaga. Apalagi ketika generasi pertama telah wafat. Selalu saja, ada masa dimana berproses dalam menemukan pola dan bentuk kelembagaan. Sesudah itu, kemudian berlanjut dengan soliditas institusi.
Ketika AGH Muhammad As’ad mempercakapkan pendirian cabang MAI atas usulan muridnya, AGH Ambo Dalle, namun dengan pandangan bahwa MAI tetaplah di Sengkang. Sebagai upaya menjaga mutu. Jangan sampai dengan adanya cabang, akan menjadikan kualitas yang berbeda.
- Kabar Gembira! Demi mengoptimalkan layanan, BSI Gowa hadirkan layanan Weekend Banking
- Warga Meminta Pilkades Pattiro Sompe Khususnya Di TPS 5 Diulang
- ASPEKSINDO Gelar Sosialisasi Program Kedaireka
- Banyak Atlet Berprestasi, Ketua GBNN Sulsel Minta Gubernur dan Walikota Berikan Bonus Lebih Besar
- GBNN Sulsel Yakin Makassar Dominasi Raihan Medali Emas di Porprov 2022
Pilihan ini justru sangat tepat. Sehingga murid-murid AGH As’ad memiliki kesempatan mendirikan lembaga pendidikan. Justru dengan adanya lembaga pendidikan ini yang juga membuka cabang di pelbagai penjuru, menjadi syiar dan juga kesempatan mengeyam pendidikan Islam.
Pada kesempatan berikutnya, As’adiyah juga membuka cabang dan bahkan mendirikan madrasah diniyah yang berdampingan dengan sekolah dasar. Tersebar di seentaro Wajo, Soppeng, dan Bone. Guru-gurunya, dikirim dari Sengkang.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa murid-murid AGH As’ad sebanyak sepuluh orang telah mendirikan lembaga pendidikan Islam. Bahkan alumni Lembaga tersebut mendirikan juga. Sebagaimana AGH Sanusi Baco yang menyelesaikan pendidikan di Mangkoso, turut mendirikan Pesantren IMMIM, dan mendirikan Pesantren Nahdlatul Ulum.
Dalam pengelolaan lembaga pendidikan selain keukuh pada tradisi yang ada, tetap saja ada ruang-ruang “ijtihad” yang bertransformasi menjadi program internal. Justru program ini menjadi sebuah internalisasi nilai yang dibangun oleh setiap lembaga.
Di Sengkang, sejak masih duduk bangku madrasah, setiap santri sudah dikenalkan pada pengabdian kepada masyarakat. Mereka diterjunkan langsung ke kampung-kampung untuk menjadi imam, ataupun muballigh. Bahkan dalam masa tertentu, ada kewajiban untuk mengabdi selama setahun di desa penugasan.
Begitu pula dengan lembaga pendidikan lainnya, seperti Darul Istiqamah. Tradisi tetap terjaga, dan pada saat yang sama diteruskan dengan transformasi. Dari pendidikan pesantren yang dalam kelembagaan madrasah, kemudian ditambah dengan sekolah. Sehingga wujudlah SPIDI untuk putri, dan Darul Istiqamah Boarding School untuk putra.
Keduanya tidak lagi sekadar sebagai madrasah. Tetapi juga sekolah yang kemudian dikelola dengan tambahan manajemen yang membantu pengasuh dan pimpinan untuk daya sanding yang tidak lagi nasional. Tetapi sudah menjangkau prinsip-prinsip global, seperti Google Education, dan kurikulum Cambridge.
Sementara Mangkoso, menyelenggarakan kelas i’dadiyah. Sebelum duduk di bangku madrasah. Selama setahun, santri dan santriwati wajib menyelesaikan kelas persiapan. Mereka belum memasuki kelas pendidikan formal.
Pada tahun 1994, kelas ini tidak dilaksanakan lagi. Hanya saja dengan pandangan dari orang tua dan masyarakat, kemudian diprogramkan kembali. Walaupun pada masa awal pelaksanaan kembali hanya menjadi pilihan. Setelahnya, menjadi menjadi kewajiban seperti sedia kala.
Setiap lembaga memiliki kekhasan yang menjadi keunggulan. Pada saat yang sama tetap memegang tradisi kepesantrenan. Hanya saja, dengan keunggulan itu kemudian menjadi bagian dalam penguatan penciri.
Ismail Suardi Wekke
Rumah Produktif Indonesia
Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sorong
*Rumah Produktif Indonesia, bersama dengan NUO Sulawesi Selatan dan Dewan Mahasiswa Dirasah Islamiyah UIN Alauddin Makassar, melaksanakan seri Diskusi Nasional Pendidikan Islam, sepanjang ramadan 1443 H. Berlangsung selama empat diskusi, setiap ahad.