As’adiyah, Awal Mula Pendidikan di Sulawesi Selatan
Komentar

As’adiyah, Awal Mula Pendidikan di Sulawesi Selatan

Komentar

Terkini.id, Gowa – Kalaulah kita sekarang mengenal Pesantren Al Ikhlas di Ujung, Bone. Begitu pula, Pesantren IMMIM. Maka, keduanya tak lepas dari keberadaan As’adiyah. Dimana guru di dua pesantren itu, belajar di As’adiyah.

Itu baru dua. Masih ada ratusan yang mendekati ribuan pondok pesantren ataupun madrasah yang merupakan cabang As’adiyah. Belum terhitung pendirian lembaga yang merupakan alumni As’adiyah.

Bahkan, pendiri Pesantren Al Ikhlas, AGH Prof. Dr. Nasaruddin Umar, merupakan lulusan As’adiyah. Belum lagi cendekia sarjana, seperti Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, dirjen Bimas Islam yang sebelum ini merupakan Dirjen Pendidikan Islam, di Kementerian Agama RI, juga lulusan As’adiyah.

Begitu pula dengan nama seperti Usman Pateha. Bukan saja sebagai dai yang berdiri di mimbar masjid. Bahkan juga menjangkau media sosial (Halim, 2017). Ustadz Usman Pateha menjadi “influencer” 

Dua pesantren awal di Sulsel, Mangkoso, dan Lapajung, semuanya hasil didikan AGH Muhammad As’ad. Orang Bugis menyebutnya, Sade. Selanjutnya, Ujung Lare, dan Kaballangang. Juga didirikan AGH Ambo Dalle, murid AGH Muhammad As’ad.

Baca Juga

Nama ini kemudian diabadikan oleh murid-muridnya dengan menamai pesantren dengan As’adiyah. Madrasah yang pertama sekali berdiri adalah Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Sengkang.

Ketika AGH Ambo Dalle menyampaikan izin untuk mendirikan cabang MAI, maka AGH Muhammad As’ad memberikan kesempatan untuk membentuk lembaga pendidikan tersendiri, AGH Ambo Dalle kemudian menyebutnya Darul Dakwah Wal Irsyad. Ini juga tersebar ke seentaro penjuru.

As’adiyah pula yang kemudian menjadi pendorong bagi terbentuknya Yayasan Perguruan Islam Beowe (Yasrib) Kabupaten Soppeng, Lapajung, Lalabata.

Kini, As’adiyah bukan hanya madrasah yang di Sengkang yang dimana melekat antara nama As’adiyah dan sengkang. Fase awal keberadaan As’adiyah, menjadi peletak dasar bagi aktivitas masjid Jami Sengkang.

Masjid itu pulalah yang kemudian menjadi bagian dalam pengkaderan ulama, dimana sejak AGH Muhammad As’ad mengasuh pengajian pada tahun 1931 yang dinamakan dengan Tahfidzul Quran, masih tetap berkelanjutan sampai sekarang. Bahkan dibentuk sebagai Majelis Qurra wal Huffadz.

Cabangnya tersebar di seentaro Indonesia. Bahkan masa sekarang sudah mengelola Institut Agama Islam As’adiyah. Pendidikan tinggi yang juga sebelumnya sudah ada ma’had aly.

Pengembangan dan perkembangan pendidikan Islam melalui tangan-tangan alumni As’adiyah tidak hanya di Sulawesi Selatan dan Timur Indonesia (Wekke, 2022). Begitu pula dengan kewujudannya di Nusa Tenggara.

Keluasannya juga menjangkau Kalimantan, dan sampai ke Jawa, dan Sumatera. Dalam satu kesempatan di Kuala Lumpur dalam rentang tiga tahun, 2006-2009, saya berjumpa dengan mahasiswa Indonesia yang sementara proses menyelesaikan pendidikan di Malaysia.

Diantara mereka adalah alumni As’adiyah. Diantaranya juga sudah merintis lembaga pendidikan sampai ke Tembilahan, Pulau Kijang, dan beberapa lokasi lainnya di Riau, dan Kepalauan Riau.

Begitupun di Malaysia. Sebagaimana dikenali bahwa As’adiyah dan Sengkang, merupakan dua jalinan yang tidak dapat terpisahkan antara yang satu dengan lainnya.

Alumni madrasah dan juga pesantren As’adiyah tersebar sampai ke Malaysia Timur. Kemudian mendirikan bersama dengan masyarakat, Masjid At Taqwa Sengkang yang terletak di Batu 22.

Rama (2000) mengemukakan bahwa MAI yang kemudian bernama As’adiyah merupakan pembaruan paling awal dalam pendidikan Islam yang ada di Sulawesi Selatan. As’adiyah pula menyediakan madrasah ibtidaiyah bagi masyarakat di kawasan sempadan Bone, Soppeng, dan Wajo.

Sehingga ketika duduk di bangku pesantren IMMIM, saya mendapati kawan-kawan dari ketiga daerah tersebut tidak hanya memegang ijazah sekolah dasar tetapi pada saat yang sama juga memiliki ijazah madrasah ibtidaiyah. 

Pagi hari mereka duduk di sekolah dasar, dan siang sampai sore hari menempuh pendidikan madrasah Ibtidaiyah. Ini berlangsung sampai tahun 1994, ketika itu ijazah SD dan MI disamakan dengan pilihan cukup salah satunya, tidak perlu keduanya.

Akhirnya, bolehjadi penduduk Sulawesi Selatan tidaklah mengenal begitu dekat As’adiyah. 

Kata kawan yang saya temui di Malaysia, “As’adiyah seperti gunung. Bolehjadi bagi penduduk Sulawesi Selatan yang dekat dengan As’adiyah, tidak dapat melihatnya. Namun bagi kita yang di Sumatera, As’adiyah sebuah menara yang menjadi pemandu di tengah kehidupan.” 

As’adiyah kini tetap saja relevan dan menjadi spirit bagi kehidupan dan keperluan masyarakat. Maka, semasa penggunaan media sosial terkadang ada komentar yang tidak terpikirkan di tengah ketidakpahaman.

Ismail Suardi Wekke
Pusat Studi Kepemimpinan Transformatif
Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Sorong